ASF: Ancaman Terhadap Peternakan Babi dan Upaya Pencegahannya

oleh -20454 Dilihat
oleh

Dinkes Papua – African Swine Fever (ASF) merupakan penyakit viral yang sangat menular pada babi, menyebabkan berbagai perdarahan pada organ internal dan memiliki angka kematian yang sangat tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh virus DNA dengan untai ganda dari genus Asfivirus dan famili Asfarviridae. ASF virus memiliki tingkat ketahanan yang tinggi terhadap lingkungan, memungkinkannya bertahan hidup dalam berbagai kondisi termasuk dalam darah, daging, dan kandang babi.

Penyebaran penyakit ini telah terjadi sejak tahun 1921 di Afrika Timur, menyebar ke Eropa, dan kemudian ke Asia. Di Asia, ASF pertama kali dilaporkan di Iran pada tahun 2010, dan kemudian menyebar ke Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar, Timor Leste

Sumber Gambar Mendia CNBC Indonesia

Di Indonesia Kejadian Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine Fever/ASF) telah secara resmi diumumkan oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019. Hal ini menjadi kabar yang mengkhawatirkan bagi industri peternakan babi di Indonesia

Meskipun babi peliharaan (domestik) adalah yang paling rentan terhadap penyakit ini, babi hutan seperti babi warthogs, babi semak, dan babi hutan raksasa juga berperan sebagai reservoir virus. Gejala klinis ASF dapat bervariasi dari bentuk perakut hingga kronis, dengan masa inkubasi antara 3 hingga 15 hari

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan peternak babi di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera Utara yang secara resmi mengumumkan kejadian ASF. Langkah-langkah pencegahan dan pengendalian telah diperkuat, termasuk isolasi babi yang terinfeksi, penerapan biosekuriti yang ketat, dan pengawasan intensif di daerah-daerah yang berisiko tinggi.

Penularan ASF dapat terjadi melalui kontak langsung dengan babi yang sakit, serta melalui peralatan, pakan, minuman, dan gigitan caplak yang tercemar virus. Babi yang sembuh dari infeksi masih dapat menjadi pembawa virus tanpa menunjukkan gejala klinis, dan infeksi dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

Gejala klinis ASF bervariasi dari bentuk perakut hingga kronis, dengan masa inkubasi antara 3 hingga 15 hari. Pada bentuk perakut, hewan ditemukan mati tanpa gejala apapun, sementara pada bentuk akut ditandai dengan demam tinggi, depresi, nafsu makan menurun, dan berbagai perdarahan. Gejala lainnya termasuk abortus pada babi bunting, sianosis, muntah, dan diare. Pada bentuk subakut dan kronis, gejala yang muncul lebih ringan dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih lama.

Sumber Gambar unspiritforjusticeandpeace.org

Diagnosis ASF dilakukan berdasarkan gejala klinis, perubahan patologis, dan pemeriksaan laboratorium seperti isolasi virus, deteksi antigen, dan deteksi antibodi. Pencegahan dan pengendalian ASF melibatkan langkah-langkah seperti mencegah lalu lintas media pembawa virus, isolasi babi yang terkena penyakit, penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan yang baik, serta pengawasan yang ketat dan intensif untuk daerah yang berisiko tinggi.

Meskipun belum ada vaksin yang tersedia untuk mencegah penyakit ASF pada babi, upaya pencegahan yang ketat dan kerjasama antara pemerintah, peternak, dan masyarakat dapat membantu mengurangi risiko penyebaran penyakit ini dan melindungi industri babi dari kerugian yang besar.

Selengkapnya silahkan download disini

Info Kemenkes

No More Posts Available.

No more pages to load.